Larangan berputus asa dari rahmat Allah sangat ditekankan. Keyakinan Islam menekankan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan Dia bisa mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang bertaubat dengan tulus. Dalam beberapa hadits, Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya selalu berharap dan berdoa kepada Allah.
By : S. Asadullah (Mudir Ma’had Al-Ihsan Baron)
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَاۡيْـئَسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗ اِنَّهٗ لَا يَاۡيْـئَسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ
“… dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.”(QS. Yusuf 12: Ayat 87) Pelajaran yang bisa dipahami dari ayat tersebut, di antaranya :
Larangan Berputus Asa dari Rahmat Allah
Larangan berputus asa dari rahmat Allah merupakan ajaran yang mendalam dalam Islam. Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Larangan berputus asa ini sejalan dengan konsep bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar bagi Allah untuk diampuni jika seseorang sungguh-sungguh bertaubat dan memohon ampunan-Nya.
Putus asa dalam bahasa Arab biasa disebut dengan al-Ya’su yang merupakan derivasi dari kata ya-a-sa (يَأَسَ – ييْأَس). Dalam Al-Quran, kata ini memiliki dua arti. Pertama, berarti al-qunuth (frustasi), sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Imam al-Qurthubi berkata :
ولا تيأسوا من روح الله أي لا تقنطوا من فرج الله
“Yakni janganlah kamu berputus asa dari pertolongan Allah.”
Selain itu, kata يأس juga berarti mengetahui. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Ra’d ayat 31:
ۗ أَفَلَمْ يَيْأَسِ الَّذِينَ آمَنُوا أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعًا
“Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya.” Berputus asa dari rahmat Allah hukumnya haram. Menurut Imam Ibnu Hajar al-Asqalani putus asa merupakan salah satu perbuatan yang kategori dosa besar. Pendapat Ibnu Hajar ini didasarkan pada firman Allah Swt dalam Q.S. Yusuf ayat 87 di atas. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa hanya orang kafirlah yang berputus asa dari rahmat Allah Swt. Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar mengingat ancaman yang sangat pedih bagi bagi orang yang berputus asa sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut.
Imam al-Qurthubi dalam tafsir _al-Jami’ li Ahkamil Qur’annya_ juga menjelaskan :
دليل على أن القنوط من الكبائر…
“…(ayat tersebut) adalah dalil bahwa al-qunuth (putus asa) termasuk al-kabair (dosa besar).” Bahkan Imam al-Qurthubi menambahkan bahwa orang mukmin selalu berharap jalan keluar dan kemudahan dari Allah. Ia tidak pernah berputus asa. Berbeda halnya dengan orang kafir. Saat tertimpa masalah, ia selalu frustasi dan putus asa. Inilah yang membedakan antara orang mukmin dan kafir.
Mengapa seseorang berputus asa? Bisa jadi karena di dalam dirinya ada rasa pesimis. Banyak manusia terdahului oleh rasa pesimisnya dibanding rasa optimisnya. Mereka hanya memandang kegagalan dibanding kesuksesan, terikat pesimisme daripada optimisme.
Selain itu, putus asa bisa juga disebabkan oleh dirinya merasa gagal. Merasa gagal dalam usaha dan pekerjaan, mendapatkan jodoh, membina rumah tangga, dan sebagainya. Sejatinya, sebagai seorang muslim ketika ia diterpa kesulitan dan kesalahan janganlah langsung merasa gagal dalam menjalani hidup, namun tetap berkeyakinan adanya rahmat Allah SWT. Dan terus memberanikan diri melangkah menjalani hidup yang lebih baik.
Berputus Asa Hanya Layak Dilakukan oleh Orang Kafir
Orang mukmin yang sesungguhnya adalah orang yang selalu optimis dan berharap akan ada jalan keluar yang diberikan oleh Allah SWT atas seluruh masalah yang dihadapinya. Seberat apapun masalah yang sedang menimpa, seorang hamba tidak sepantasnya berputus harapan dari rahmat Allah. Semua permasalahan yang menghimpitnya harus dikembalikan kepada Allah. Kita wajib bersimpuh memanjatkan doa, bertawakkal, berbaik sangka kepada Allah SWT, serta berupaya sekuat-kuatnya dan bersabar. Dengan harapan, Allah akan melenyapkan kesusahan ataupun cobaan yang sedang menimpa.
Rasulullah SAW sangat menyukai sikap optimis dan membenci sikap pesimis. Dalam Shahih al-Bukhari, dari Anas ra., Nabi SAW bersabda :
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ
“Tidak ada penyakit yang menular sendiri, dan tidak ada kesialan. Optimisme (yaitu) kata-kata yang baik membuatku kagum.” (HR. Bukhari-Muslim) Jika kita mengaku sebagai mukmin sejati, maka janganlah kita berputus asa. Patut kita sadari, selaku manusia kita tak luput dari dosa dan merasa dirundung rasa putus asa dan kegagalan akan rahmat Allah SWT.
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh terus-menerus terbenam ke dalam kesedihan atas musibah, ataupun kegagalan yang menimpanya. Tidak lantas menjerumuskan diri kita ke dalam maksiat. Seorang muslim harus kuat, tegak, teguh hati menerima ketentuan Allah dan takdir-Nya. Keimanan kepada takdir Allah ini, membantu kita menempuh kesulitan-kesulitan dengan hati yang mantap, tenang dan pikiran jernih.
WalLahu a’lamu bi al-showab